Oleh : Aditya Anggara )*
Penyerahan aset tambang ilegal kepada negara merupakan babak penting dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia menegakkan supremasi hukum dan menata ulang sektor sumber daya alam agar lebih berkeadilan serta berkelanjutan. Langkah ini bukan hanya simbol keberhasilan aparat penegak hukum dalam menindak praktik ilegal, tetapi juga menjadi bukti nyata bahwa negara hadir dengan kekuatan penuh untuk melindungi kekayaan alam dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.
Presiden Prabowo Subianto menyaksikan secara langsung penyerahan Aset Barang Rampasan Negara (BRN) kepada PT Timah Tbk., yang digelar di Smelter PT Tinindo Internusa, Pangkal Pinang, Bangka Belitung, pada Senin, 6 Oktober 2025. Penyerahan dilakukan secara berjenjang, mulai dari Jaksa Agung ke Wakil Menteri Keuangan, lalu ke CEO Danantara, dan akhirnya diteruskan kepada Direktur Utama PT Timah Tbk. Aset yang diserahkan mencakup ratusan unit alat berat, puluhan ton logam timah, aluminium, crude tin, enam smelter, kendaraan, tanah seluas lebih dari 238 ribu meter persegi, mess karyawan, alat pertambangan, hingga uang tunai senilai miliaran rupiah dalam berbagai mata uang.
Presiden Prabowo mengatakan nilai total barang rampasan ini mencapai sekitar Rp6–7 triliun, belum termasuk tanah jarang (monasit) yang nilainya diperkirakan jauh lebih tinggi. Menurut Presiden, kerugian negara akibat aktivitas tambang ilegal di kawasan PT Timah mencapai sekitar Rp300 triliun.
Selain menyaksikan penyerahan aset, Presiden Prabowo juga memberikan apresiasi tinggi kepada aparat penegak hukum, TNI, Bakamla, Bea Cukai, dan semua pihak yang terlibat dalam penyelamatan kekayaan negara. Presiden menekankan komitmen pemerintah untuk terus menindak tegas pelaku pelanggaran hukum di sektor pertambangan dan memastikan hasil penegakan hukum kembali bermanfaat bagi rakyat. Penyerahan Aset Barang Rampasan Negara kepada PT Timah di Bangka Belitung ini menjadi tonggak penting dalam penegakan hukum terhadap kejahatan ekonomi sumber daya alam, sekaligus menegaskan komitmen pemerintah untuk melindungi kedaulatan ekonomi dan kepentingan rakyat.
Kegiatan tambang ilegal selama ini menjadi salah satu persoalan pelik yang menggerogoti sendi-sendi ekonomi nasional. Di banyak daerah, aktivitas ini bukan hanya menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah, tetapi juga menghilangkan potensi penerimaan negara dalam jumlah besar. Hutan yang gundul, sungai yang tercemar, hingga tanah longsor dan banjir merupakan dampak nyata dari eksploitasi yang dilakukan tanpa izin dan tanpa memperhatikan kaidah lingkungan. Lebih parah lagi, tambang ilegal sering kali dikendalikan oleh jaringan ekonomi bayangan yang melibatkan oknum-oknum tak bertanggung jawab, bahkan bisa beririsan dengan tindak pidana lain seperti pencucian uang atau korupsi.
Langkah pemerintah dalam mengamankan dan mengelola kembali aset tambang ilegal juga memperkuat prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Transparansi dalam proses hukum, akuntabilitas lembaga penegak hukum, serta keterlibatan masyarakat sipil menjadi tiga pilar utama yang mendukung keberhasilan ini. Ketika publik melihat bahwa aset hasil kejahatan benar-benar kembali ke negara dan dimanfaatkan untuk kepentingan umum, maka muncul rasa bangga dan kepercayaan baru terhadap institusi hukum dan pemerintah.
Sementara itu, Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian mengatakan langkah Presiden Prabowo menertibkan smelter ilegal merupakan koreksi arah kebijakan ekonomi sumber daya nasional menuju kedaulatan yang berkeadilan. Pihaknya menambahkan lebih dari 90 persen cadangan timah dan logam tanah jarang (LTJ) Indonesia berada di Babel. Selama bertahun-tahun, negara kehilangan potensi penerimaan triliunan rupiah akibat praktik tambang ilegal. Penyebabnya, tata kelola sektor pertambangan yang lemah.
Selain aspek hukum, penyerahan aset tambang ilegal juga memiliki dimensi ekonomi yang sangat signifikan. Aset yang sebelumnya dikuasai oleh pihak-pihak tak berizin kini bisa dimanfaatkan secara legal dan produktif. Pendapatan dari sektor ini dapat dialokasikan kembali untuk membangun infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan masyarakat di sekitar wilayah tambang. Dengan demikian, roda ekonomi lokal dapat berputar lebih sehat dan inklusif, serta memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat sekitar.
Tak kalah penting, keberhasilan dalam menertibkan tambang ilegal juga memiliki dampak sosial dan lingkungan yang luas. Dengan dihentikannya kegiatan ilegal, ekosistem yang rusak dapat dipulihkan, dan kawasan yang sebelumnya menjadi area konflik kepentingan kini dapat dijadikan ruang pembangunan berkelanjutan. Pemerintah melalui kementerian terkait dapat melakukan rehabilitasi lahan bekas tambang, menanam kembali hutan yang gundul, dan memperbaiki tata air yang terganggu.
Kemenangan negara dalam merebut kembali aset tambang ilegal bukan sekadar capaian hukum semata, melainkan momentum penting untuk memperkuat fondasi moral dan ekonomi bangsa. Ini adalah bukti bahwa Indonesia sedang bergerak menuju tata kelola sumber daya alam yang lebih transparan, berkeadilan, dan berpihak pada kepentingan rakyat. Di tengah tantangan global yang menuntut negara-negara agar semakin bijak mengelola kekayaannya, langkah ini menjadi contoh konkret bahwa Indonesia mampu berdiri tegak, menjaga kedaulatannya, dan memastikan bahwa setiap butir kekayaan alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
)* Penulis adalah pengamat kebijakan publik